Tentang dua puluh batang rokok dan telur dadar yang
keasinan.
Tangerang, Rabu 20 Januari, 12.20 a.m.
Tulisan ini kubuat untukmu, dan untukku sendiri.
Ribuan kata yang tertahan dan kutahan setengah mati demi
mempertahankan harga diriku yang tidak membuatku kaya itu. Maksudku, kau tahu
kan, lebih memilih harga diri ketimbang memohon orang untuk mengasihani, dan
pada akhirnya itu tidak akan menambah pundi-pundiku. Ah sudahlah, #salah focus.
Jadi.. ehem ehem.
Hei, kamu.
Iya kamu yang sedang mencari sinyal terkuat WiFi depan
musola. Hahaha. (sayang yang kamu cari bukan sinyal terkuat hatiku yang sudah
dari sananya kuat kalo deket kamu. Apabangeeeeeet. Oke, get a grip girl,
focus).
(eh dan ngomong-ngomong jadi teringat lirik lagu Britney,
“… I’m not a girl, not yet a woman…” kayaknya pas kena di
hati nih…. OKE BALIK FOKUS DEAR ME)
Tulisan ini kubuat karena seperti kamu tahu, iya, kamu.
Pikiran kita itu paradoks terbesar yang pernah ada. Dia sangat sangat hebat,
entah berapa miliar giga kapasitas yang dia miliki, jadi memori akan tersimpan
rapih dan kuat di sudut kepala kita. Hanya saja, sayangnya, saking banyaknya
kejadian demi kejadian yang kita lalui sepanjang kita hidup, maka memori yang
paling dulu terjadi akan tersudut, di suatu tempat terpencil dalam kepala
kita yang tempatnya jauh, gelap dan dalam. Ibaratnya kita harus melewati lorong
panjang yang gelap basah dan berair karena letaknya jauh di dalam sana di perut
bumi.
Aku takut. Kalau tidak menuliskannya maka kamu akan memudar
dan akan hilang begitu saja di sudut tergelap itu tanpa pernah akan berada di
bawah sinar mentari pagiku lagi.
Hmmm… lantas darimana yah aku harus memulai?
Kurasa aku ingin memulainya dari kata-kata paling paling
favoritmu dulu: “Jangan baper, ya”. Seandainya yah, kamu memperingatkanku
sedari pertama. Sedari awal. Sedari sebelum bumi diciptakan (heheh.,. mulai
hiperbola. Maap, penyakit).
Kamu bilang jangan baper. Dan aku dengan bebalnya menolak
arti dibalik dua kata sederhana yang simple tetapi nylekit minta ampun itu
.
Andai Mas, kamu bilang itu sebelum semuanya terjadi (padahal
kamu pasti akan bilang, “emang ada kejadian apa?” dengan muka polos menyebalkan).
Iya, seandainya kamu bilang itu sebelum sesuatu bernama hati
itu tercuri olehmu dengan sukses, tanpa rintangan, melewati jalan tol Cipali
yang lurus tetapi menyimpan luka itu… (hasiiik, hahahha).
Mau aku ingetin?
Well.. aku paling suka saat kamu mengajakku, akhirnya,
dengan berkat dorongan pancingan dariku yang tak sabar, buat malam mingguan.
Sekali, seumur hidup.
Pukul berapa ya Mas kita keluar? Pukul 10 malam. Kayaknya.
Kamu tahu, betapa aku menahan lapar? Nungguin kamu dandan. Iya, kamu yang
dandan. Karena aku udah rapih cantik manis (hehehe).
Dan untungnya kamu terliat cakepan dikit. Hehe..
Lalu kita motoran bareng.. dengan tanganku yang duhai behave
sekali, nggak boleh pegangan kamu. Ya kan ya? Dan gitar mu kamu teruh sebagai
sekat diantara kita. Lalu kita berenti di sebuah jalan yang banyak orang
nongkrongnya (sumpah aku nggak ngerti namanya sampai sekarang). Kamu pilih spot
belakang abang gorengan dan abang jual minuman.
We sing a song, together, happily. You try so hard for being
funny. Yet I laughing on your effort. But you know what? I’m really happy that
night. Thank you.
Hmmm.. lalu malam-malam yang aku habiskan untuk masakin
kamu. Special ngga pake telor, Cuma kamu yang aku bikinin dengan repot-repot
masak buat dua porsi which is means will be a way longer padahal abis pulang
kerja perut keroncongan (waktu itu inget kan, pas pulang malem jam 11 baru
nyampe kos).
Saat kere, aku cuma bikin mi rebus, pake telor, yang
telornya jadi gosong dan bumbunya ternyata kebanyakan buat kamu jadinya asin.
Cuma kuahnya yang nggak kamu abisin. Dan itu lho, yang bikin aku baper, you
never complained about my cook, even if its salty. Yeah well you said its salty
but still, kamu habisin semuanya. Susah tau, nggak baper?
Kamu tahu, Cuma sama kamu aku begitu Mas jelek.
Repot-repot bikinin buat orang, apalagi kamu makannya
banyak. Ya kan? Udah diperlakukan so very special. Idiot kalo kamu nggak sadar.
Yang akhirnya aku tahu itu nggak benar.
Justru, karena kamu tahu, kamu bilang kata-kata haram jadah
itu. Hahahaha. JANGAN BAPER.
So simple, yet so damn hurting.
Dan setelah makan, kamu pasti akan ngerokok. Lalu aku Tanya,
“hari ini rokok udah berapa?”. Dan kamu jawab dengan mengacungkan sepuluh
jarimu. Atau lebih ya? Rokoknya maksudku, bukan jarinya. Lalu kamu bilang,
‘sampai yang kedua puluh kita bubar (maksudnya masuk ke ‘rumah’ masing-masing).
Dan kadang, tanpa menunggu aku usir, hehe, kamu akan
menggeser tempatmu duduk sejauh mungkin dariku, karena kamu tahu aku rewel soal
rokok.
Dan pernah kita makan bertiga ama suamimu, eh maksudku
sahabat kentalmu yang bikin cemburu itu (hellooooo). And we have chit chat here
and there, and I can’t stop myself of being happy. You are being blessed with
that friend, aren’t you? Dan dia juga yang suggest (setelah aku nanya sih),
buat mulai nulis di Kompasiana. Dan mungkin, entah kapan. Atau mungkin juga
enggak. Dia akan baca ini, lalu kasih lihat ke kamu.
Hatiku penuh.
Memikirkan kamu yang tidak memikirkanku. What a pity me?
Lalu saat aku ketinggalan kereta. Tanggal 5 Januari kemarin.
Dan saat itulah kamu memutuskan untuk Voila! Muncul lagi. Dan kita ketemu lagi.
Apa itu kebetulan?
Hei. Aku nanya kamu. Kebetulankah ini? Padahal nanya
sekalipun enggak, aku sama kamu. Ya kan? Aku nggak pernah tahu kamu pulang
tanggal itu. Gimana?
Hmm?
Dan yang terakhir. Saat kamu nawarin pulang bareng.
Yuhu guys, bukan sembarang pulang bareng.
Ini pulang yang membutuhkan 13 jam perjalanan.
Jakarta-Semarang.
Kamu tahu kan betapa senangnya aku?
Dan betapa aku sekuat tenaga menahan diri untuk nggak
pegangan eraaaaaaat gitu sama kamu? Seerat mereka disebelah kita pas pulang. Ya
tapi mau nggak mau kan aku harus pegangan. Mana mata sepet ngantuk lagi. Hffff.
Lalu kamu bilang,
Abis kita istirahat di pom bensin; ini nggak bakalan pernah
aku lupa.
“Pegangan boleh, tapi jangan baper ya”, kata kamu.
Dan saat itu pula kata-kata yang pasti disensor KPI
berlompatan dalam kepala, buru-buru pengen meloloskan diri lewat mulut, untung
aku pintar menahan mereka.
Yeah man. You are that kind of man.
Kind of man whom being nice with whoever treating you nice.
Meskipun, sebenernya aku masih amat sangat penasaran sih.
Hey man, am I really just whoever for you?
Even not at once you feel something for me?
Sampai kamu membaca ini lewat temanmu, dan mungkin nggak
akan pernah terjadi. Aku nggak bakal tahu apa jawabannya. Jawaban atas apa yang
aku teriakkan dalam hati sampai pekak telinga dalamku. Dan kini, meninggalkanmu
adalah semacam yang harus aku lakukan. Ya kan?
Katanya. Sulit untuk membuat laki-laki suka padamu, kalo
kamu yang suka mereka duluan.
Hey man. Aku nggak ngomongin tentangmu lho. Ini tadi orang
lain yang bilang. Blog lain yang bilang. Yang sayang nggak aku catet alamatnya
sih.
Dan semua memori lain. Tentang kamu. Tentang kamu yang
seorang “laki-laki musim panas”.
Semoga, kamu akhirnya baca ini.
Btw, tahu nggak, aku pengen bikin kaos yang ada tulisan
“Jangan baper, ya” gede-gede dan aku kasih ke kamu. Menurutmu gimana Mas?
Setuju?
Dengan kehangatan dan syahdu.
-aku-