viewer

Jumat, 29 Januari 2016

Tentang dua puluh batang rokok dan telur dadar yang keasinan.

Tentang dua puluh batang rokok dan telur dadar yang keasinan.
Tangerang, Rabu 20 Januari, 12.20 a.m.

Tulisan ini kubuat untukmu, dan untukku sendiri.
Ribuan kata yang tertahan dan kutahan setengah mati demi mempertahankan harga diriku yang tidak membuatku kaya itu. Maksudku, kau tahu kan, lebih memilih harga diri ketimbang memohon orang untuk mengasihani, dan pada akhirnya itu tidak akan menambah pundi-pundiku. Ah sudahlah, #salah focus.

Jadi.. ehem ehem.
Hei, kamu.
Iya kamu yang sedang mencari sinyal terkuat WiFi depan musola. Hahaha. (sayang yang kamu cari bukan sinyal terkuat hatiku yang sudah dari sananya kuat kalo deket kamu. Apabangeeeeeet. Oke, get a grip girl, focus).

(eh dan ngomong-ngomong jadi teringat lirik lagu Britney,
“… I’m not a girl, not yet a woman…” kayaknya pas kena di hati nih…. OKE BALIK FOKUS DEAR ME)

Tulisan ini kubuat karena seperti kamu tahu, iya, kamu. Pikiran kita itu paradoks terbesar yang pernah ada. Dia sangat sangat hebat, entah berapa miliar giga kapasitas yang dia miliki, jadi memori akan tersimpan rapih dan kuat di sudut kepala kita. Hanya saja, sayangnya, saking banyaknya kejadian demi kejadian yang kita lalui sepanjang kita hidup, maka memori yang paling dulu terjadi akan tersudut, di suatu tempat terpencil dalam kepala kita yang tempatnya jauh, gelap dan dalam. Ibaratnya kita harus melewati lorong panjang yang gelap basah dan berair karena letaknya jauh di dalam sana di perut bumi.

Aku takut. Kalau tidak menuliskannya maka kamu akan memudar dan akan hilang begitu saja di sudut tergelap itu tanpa pernah akan berada di bawah sinar mentari pagiku lagi.

Hmmm… lantas darimana yah aku harus memulai?
Kurasa aku ingin memulainya dari kata-kata paling paling favoritmu dulu: “Jangan baper, ya”. Seandainya yah, kamu memperingatkanku sedari pertama. Sedari awal. Sedari sebelum bumi diciptakan (heheh.,. mulai hiperbola. Maap, penyakit).

Kamu bilang jangan baper. Dan aku dengan bebalnya menolak arti dibalik dua kata sederhana yang simple tetapi nylekit minta ampun itu
.
Andai Mas, kamu bilang itu sebelum semuanya terjadi (padahal kamu pasti akan bilang, “emang ada kejadian apa?” dengan muka polos menyebalkan).

Iya, seandainya kamu bilang itu sebelum sesuatu bernama hati itu tercuri olehmu dengan sukses, tanpa rintangan, melewati jalan tol Cipali yang lurus tetapi menyimpan luka itu… (hasiiik, hahahha).

Mau aku ingetin?
Well.. aku paling suka saat kamu mengajakku, akhirnya, dengan berkat dorongan pancingan dariku yang tak sabar, buat malam mingguan. Sekali, seumur hidup.
Pukul berapa ya Mas kita keluar? Pukul 10 malam. Kayaknya. Kamu tahu, betapa aku menahan lapar? Nungguin kamu dandan. Iya, kamu yang dandan. Karena aku udah rapih cantik manis (hehehe).
Dan untungnya kamu terliat cakepan dikit. Hehe..
Lalu kita motoran bareng.. dengan tanganku yang duhai behave sekali, nggak boleh pegangan kamu. Ya kan ya? Dan gitar mu kamu teruh sebagai sekat diantara kita. Lalu kita berenti di sebuah jalan yang banyak orang nongkrongnya (sumpah aku nggak ngerti namanya sampai sekarang). Kamu pilih spot belakang abang gorengan dan abang jual minuman.

We sing a song, together, happily. You try so hard for being funny. Yet I laughing on your effort. But you know what? I’m really happy that night. Thank you.

Hmmm.. lalu malam-malam yang aku habiskan untuk masakin kamu. Special ngga pake telor, Cuma kamu yang aku bikinin dengan repot-repot masak buat dua porsi which is means will be a way longer padahal abis pulang kerja perut keroncongan (waktu itu inget kan, pas pulang malem jam 11 baru nyampe kos).

Saat kere, aku cuma bikin mi rebus, pake telor, yang telornya jadi gosong dan bumbunya ternyata kebanyakan buat kamu jadinya asin. Cuma kuahnya yang nggak kamu abisin. Dan itu lho, yang bikin aku baper, you never complained about my cook, even if its salty. Yeah well you said its salty but still, kamu habisin semuanya. Susah tau, nggak baper?

Kamu tahu, Cuma sama kamu aku begitu Mas jelek.
Repot-repot bikinin buat orang, apalagi kamu makannya banyak. Ya kan? Udah diperlakukan so very special. Idiot kalo kamu nggak sadar. Yang akhirnya aku tahu itu nggak benar.
Justru, karena kamu tahu, kamu bilang kata-kata haram jadah itu. Hahahaha. JANGAN BAPER.

So simple, yet so damn hurting.

Dan setelah makan, kamu pasti akan ngerokok. Lalu aku Tanya, “hari ini rokok udah berapa?”. Dan kamu jawab dengan mengacungkan sepuluh jarimu. Atau lebih ya? Rokoknya maksudku, bukan jarinya. Lalu kamu bilang, ‘sampai yang kedua puluh kita bubar (maksudnya masuk ke ‘rumah’ masing-masing).

Dan kadang, tanpa menunggu aku usir, hehe, kamu akan menggeser tempatmu duduk sejauh mungkin dariku, karena kamu tahu aku rewel soal rokok.

Dan pernah kita makan bertiga ama suamimu, eh maksudku sahabat kentalmu yang bikin cemburu itu (hellooooo). And we have chit chat here and there, and I can’t stop myself of being happy. You are being blessed with that friend, aren’t you? Dan dia juga yang suggest (setelah aku nanya sih), buat mulai nulis di Kompasiana. Dan mungkin, entah kapan. Atau mungkin juga enggak. Dia akan baca ini, lalu kasih lihat ke kamu.

Hatiku penuh.
Memikirkan kamu yang tidak memikirkanku. What a pity me?
Lalu saat aku ketinggalan kereta. Tanggal 5 Januari kemarin. Dan saat itulah kamu memutuskan untuk Voila! Muncul lagi. Dan kita ketemu lagi. Apa itu kebetulan?

Hei. Aku nanya kamu. Kebetulankah ini? Padahal nanya sekalipun enggak, aku sama kamu. Ya kan? Aku nggak pernah tahu kamu pulang tanggal itu. Gimana?
Hmm?

Dan yang terakhir. Saat kamu nawarin pulang bareng.
Yuhu guys, bukan sembarang pulang bareng.
Ini pulang yang membutuhkan 13 jam perjalanan. Jakarta-Semarang.
Kamu tahu kan betapa senangnya aku?
Dan betapa aku sekuat tenaga menahan diri untuk nggak pegangan eraaaaaaat gitu sama kamu? Seerat mereka disebelah kita pas pulang. Ya tapi mau nggak mau kan aku harus pegangan. Mana mata sepet ngantuk lagi. Hffff.

Lalu kamu bilang,
Abis kita istirahat di pom bensin; ini nggak bakalan pernah aku lupa.
“Pegangan boleh, tapi jangan baper ya”, kata kamu.
Dan saat itu pula kata-kata yang pasti disensor KPI berlompatan dalam kepala, buru-buru pengen meloloskan diri lewat mulut, untung aku pintar menahan mereka.

Yeah man. You are that kind of man.
Kind of man whom being nice with whoever treating you nice.
Meskipun, sebenernya aku masih amat sangat penasaran sih.
Hey man, am I really just whoever for you?
Even not at once you feel something for me?


Sampai kamu membaca ini lewat temanmu, dan mungkin nggak akan pernah terjadi. Aku nggak bakal tahu apa jawabannya. Jawaban atas apa yang aku teriakkan dalam hati sampai pekak telinga dalamku. Dan kini, meninggalkanmu adalah semacam yang harus aku lakukan. Ya kan?
Katanya. Sulit untuk membuat laki-laki suka padamu, kalo kamu yang suka mereka duluan.
Hey man. Aku nggak ngomongin tentangmu lho. Ini tadi orang lain yang bilang. Blog lain yang bilang. Yang sayang nggak aku catet alamatnya sih.

Dan semua memori lain. Tentang kamu. Tentang kamu yang seorang “laki-laki musim panas”.
Semoga, kamu akhirnya baca ini.
Btw, tahu nggak, aku pengen bikin kaos yang ada tulisan “Jangan baper, ya” gede-gede dan aku kasih ke kamu. Menurutmu gimana Mas? Setuju?



Dengan kehangatan dan syahdu.

-aku-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tolong tinggalin pesan sebelum keluar ya? !^-^!