viewer

Rabu, 21 November 2012

memoir-kanak-kanak

Air mata ini terasa panas, dan asin.
Seperti jarum-jarum pinus yang menusuk mulut.
Keberadaannya absolut. Sulit untuk di elakkan.

Dan dia setia selalu ada di sampingku.
Di sekitarku, membayangiku, menungguiku, mencintaiku lebih dari ibuku sendiri yang meninggalkannku dengan mati duluan.

Dia bernama bayang kesepian.
Aku mulai berkenalan dengannya, mungkin sebenarnya sudah sejak lama, sejak aku masih kanak-kanak. Karena kadang, aku lupa siapa aku, dan ada dimana aku bahkan ketika berada dalam rumahku sendiri.

Mungkin tak seorangpun tahu hal ini karena akua dalah anak yang setia pada keceriaan.
Aku mekar seperti mentari saat kanak-kanak, temanku banyak, dan bahkan punya pengikut.

Aku bisa menciptakan permainan menarik bahkan ketika sebenarnya keadaan sangat membosankan dan tidak ada apa-apa untuk dimainkan.

Kau tahu? Saat kanak-kanak adalah kerajaan paling indah dalam 21 tahun kehidupanku.
Aku tidak pernah dilimpahi materi seperti kebanyakan anak lain.

Tapi ibu, ayah, ke dua kakakku, selalu melimpahiku dengan perhatian dan kasih sayang dengan cara mereka. Termasuk mungkin ketika masku melemparku dengan kain pel atau mbakku memelorotkan celanaku di ruang tamu dengan lampu menyala terang benderang.

Kau tahu?
Cinta ada dimana-mana saat itu, dan aku begitu takut dibenaci.
Bayangan gelapku saat SD hanyalah seorang bocah gendut yang iri padaku, dan menampakkannya.

Aku bahagia dalam segala keterbatasan ekonomi.
Ayahku hanya seorang supir Penerbad PNS dengan gaji sedikit.
Tapi tiap awal bulan ibu selaku bendahara keuangana menyenangkan kami dengan makan di tempat warung mi ayam langganan kami bernama “Bengkel Perut”.

Aku mencintai ibuku, pasti kau sudah tau. Maksudku, aku memujanya.
Dia sumber cahaya dalam kehidupanku,
mendenngarkan segala celoteh tak penting, hiruk pikuk menyebalkan di telinga orang lain, memasakkan makanan kesukaanku ayam manis bergantian dengan semua anggota keluarga.

Aku bahagia.
Sangat bahagia meski saat itu kata bahagia tak pernah tereja dalam hidupku yang sibuk dengan kekonyolan dan kenakalan.
Di sekolah, aku menjelma sebagai pion permainan.

Aku mencipta lagu permainanku sendiri, me rapp di saat kelasku sedang ada les (di luar halaman dan bisa di dengar dengan jelas oleh seisi kelas, yang aku baru tahu kemudian),

aku menggoda anak perempuan dan anak lelaki, menirukan ucapan dan tingkah mereka dan mengejar mereka, bahkan menyangkutkan sepatu seorang teman laki-laki di atas pohon (coba cermati, biasanya standar keumuman terbalik bukan?).


aku melompat, menyanyi, berlari, menggelitik, banyak-banyak-banyak tertawa, sedikit marah dan mereguk tiap tetes cahaya matahari.
Aku bahagia di bawah sinar mentari dan di balik selimut malam.

Di rumah, aku raja.
Dalam batasan yang diperbolehkan ibuku.
Pulang sekolah aku lemparkan sepatu, tas dalam rumah yang sudah dengan peluh kerja keras dibersihkan ibuku.

Dan dia dengan lelah memberitahuku disambut dengan tawa tak acuhku dan pertanyaan, hari ini makan apa? Tidak menunggu lama aku berlari ke ruang tengah, kadang memekik gembira saat ibuku memasakkan rica ayam manis favoritku atau mengeluh saat tempe tahu menyambutku dan Ibu mendesis mencela.

Kesedihan dan kekhawatiranku hanyalah satu, apakah besok aku akan terlambat ke sekolah atau tidak?

Yang besoknya kadang aku menumpang (PAKSA) pada mbakku yang berangkat sekolah naik sepeda (tanpa rem pakem dengan bentuk jalan turunan bukit yang tajam).

Mengacuhkan omelan kakakku aku menumpang di sadel belakang dan berdoa (harus jika kau ingin selamat naik sekolah dengan cara seperti itu, belakangan hari dia memberitahuku bahwa kakakku selalu berdoa panjang agar tak ada motor melintas saat kami melaju dengan kecepatan penuh.

Kemudian di sekolah aku meraja lagi.
Aku ingat, prestasiku lumayan banyak.
Aku menggagas teman-temanku saat santai kami untuk membersihkan perpustakaan kecil sd kami yang di sudut, kecil, dan berdebu.

Dengan hati berdegup aku mengetuk pintu kepala sekolah dan berdialog sebisanya. Hasilnya, kunci perpus meluncur ke tangan kami.

Prestasiku lain yang menyenangkan adalah saat aku mengajak teman-temanku bermain “buaya-buaya”an, permainan dimana korban harus menyentuh pemain lain yang menapakkan kakiknya ke tanah.

Istimewanya adalah si buaya bisa memerintah kami menuju tempat berseberangan dan mengincar salah satu diantara kami yang larinya paling lambat dan menjadikannya buaya.

Awalnya hanya rombongan teman-temanku yang biasa, tapi hebatnya adalah saat satu demi satu teman-teman dari SD I (aku sd III) satu angkatan ikut bergabung bersama kami.

Asik sekali, tapi kemudian aku bosan karena pusat perhatian tak lagi padaku. Dengan gagah (atau egois) aku membubarkan diri (yang sepertinya kemudian diikuti temanku yang lain).

Kau lihat? Bukankah hidupku sempurna?
Orang yang membenciku hanya mereka yang iri padaku.
Dan guru-guruku (aku tahu aku tidak manis untuk mereka karena aku berani mendebat mereka saat mempertahankan pendapatku yang kunilai benar).

Tentu saja, korban dari pihak guru yang kerap kurepotkan adalah walikelasku.
Namanya Bu Har, dengan perawakan kecil dan rambut keriting, dan o ya, orangnya cerewet sekali.

Dia sering memarahiku atau membully ku di depan kelas dengan gayanya yang khas.
Aku ingat, salah satunya adalah dengan dia menjodohkan ku dengan Lutfi.
Anak lelaki yang cerewet juga (saat itu pengetahuanku hanya sebatas dia anak kaya dari keluarga rukun, fakta sebenarnya baru kuketahui saat aku besar).

Dia bilang , “aku rak isa mbayangne nek yasinta sesuk gedi nikah karo Lutfi, mesti ben dina tukaran kaya anjing-kucing”.
Kurang lebih begitu.

Dengan cakepnya aku membalas, “Kok Ibu tahu? Kita emang udah ngerencanain pernikahan kok, bahkan undangannya udah di buat, tinggal nunggu di bagiin aja bu”,
hasilnya?
Bu har tersayang tertawa terbahak-bahak sampai perutnya sakit.

Yang lain adalah pak Yani, dia pernah memarahiku karena aku sering terlambat dan menuduhku bangun kesiangan (yang tentu saja benar tapi kutolak mentah-mentah dengan beragam alasan dan cara demi menyelematkan muka).

Dia menyesalkan bagaimana masa depanku nanti saat menjadi istri orang yang harus mengurus suaminya dari pagi-pagi.
Dengan kesal kubalas, “nanti Pak, saat udah besar, saya udah jadi wanita karier dan akan memesan katering setiap hari,”.
Lihat, cerdas (nakal) kan?

Yang terakhir yang juga berkesan untukku adalah bu Yuni, guru olahraga. Karena aku anak yang lemah dalam olahraga.

Aku suka berlari-larian, tapi rekor lariku tidaklah seberapa.
Aku suka melompat, tapi ketika harus melompati bambu dengan tinggi tertentu, aku lebih baik menyerah. Aku tidak suka ketika harus memukul bola tepat pada sasaran, menyebalkan. 
Yang kusukai hanyalah bulutangkis, dan pingpong. Aku cukup kuat pada kedua hal itu.

Aku ingat bagaimana ekspresi Bu Yuni dengan celana olahraga kuning atau hijau dan kaus putih ketika melihat bagaimana aku kerap tertinggal di antara teman-temanku, dengan cepat aku membenci olahrga dan menyalahkan gurunya, sungguh dewasa.

Banyak sekali kenanganku di sekolah, kecuali hal-hal yang telah kusebutkan tadi.
Mungkin untuk memberimu gambaran yang sedikit lebih jelas, aku akan menerangkan bagaimana rupa SD Kalibanteng Kidul I-III tempat kerajaaanku.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari bangunannya, sama halnya seperti bangunan-bangunan SD lain yang kategorinya ‘cukup’.
Dengan membentuk letter U dan lapangan di tengahnya. Dilindungi pagar besi di sekujur bangunan.
Seingatku dulu berwarna krem, pernah hijau juga.

Kamar mandi terletak di belakang, seperti juga layaknya kamarmandi SD, jorok dan bau.
Yang sayangnya di tempatkan dekat kantin.

Ada musola kecil juga yang dengan bau karpet apak (seperti kauskaki basah) yang jadi tempat kami ketika ada Pesantren Ramadan.
Spot yang paling kusuka adalah sudut samping kanan ruang kepala sekolah, di sana ada segerumbul pohon... entah apa namanya.

Rindang dan ramah untuk dijadikan “markas”.
Dari sudut itu bisa menjadi pintu masuk tempat kami ber’uji nyali.
Karena antara dinding bangunan dan pagar belakang sekolah ada sedikit space, jadi anak-anak seukuran kami bisa beruji nyali menyusuri lorong sepanjang bangunan sekolah.

Yang berhasil menyelesaikan tantangan ini mendapat predikat “anak yang berani.
Bonusnya adalah ketika kau sampai di belakang ruang kelasmu, kau bisa berteriak memanggil-manggil temanmu.
Jelas sih, dia akan tahu darimana asal sumber suara (dengan naik meja dan mengintip dari jendela), tapi tetap saja permainan ini mengasyikkan.